Konsep manajemen sumber daya manusia menurut pendekatan strategik mulai
menitikberatkan pada kinerja team work dalam jaringan kerja (network)
organisasi yang saling bersinergi, sehingga organisasi akan mampu membentuk,
mendukung dan mengarahkan aktivitas anggotanya menuju aktivitas yang strategis.
Organisasi perlu untuk berkembang dan bertahan hidup dalam abad informasi yang
sangat dinamis, dengan berbagai kemungkinan munculnya konflik yang diakibatkan
oleh adanya diversity dalam organisasi serta organisasi yang mulai bersifat
tanpa batas (boundaryless organization). Diperlukan penanganan atas konflik
potensial ataupun konflik terbuka yang ada di antara anggota, sehingga konflik
tidak menjadi bersifat disfungsional tetapi justru menguntungkan (sebagai
sumber inovasi atau kreativitas) organisasi.
Key words: Teamwork, network, diversity, konflik.
I. Pendahuluan
Dalam era perekonomian dunia yang kini sudah menjagad, tak pelak lagi
menuntut berbagai macam hal yang mampu meningkatkan daya saing organisasi.
Tantangan yang muncul karena lingkungan eksternal organisasi yang sangat
dinamis dapat bersifat struktural ataupun bersifat non-struktural.
Tantangan-tantangan bagi organisasi yang bersifat non struktural misalnya
teknologi yang makin canggih, turbulensi politik dan ekonomi, masalah-masalah
hak asasi manusia, peluang bisnis global, dan tekonologi informasi dan
pengetahuan. Sedangkan tantangan yang bersifat non-struktural meliputi:
perlunya keunggulan kompetitif yang terus menerus, organisasi yang apresiatif,
networking dalam organisasi, makin pentingnya kualitas, efisiensi dan
produktivitas bagi organisasi serta learning organization.
Persaingan yang makin terbuka kini tidak lagi hanya didasarkan pada
tuntutan kualitas (quality-based competition) saja namun kemudian lebih pada
kecepatan (speed) organisasi dalam merespon
perubahan (time-based competition) yang makin cepat dari lingkungan
eksternalnya. Lingkungan internal juga mengalami perubahan budaya dan iklim,
karena terdapatnya kemungkinan dan kesempatan bagi orang-orang asing untuk
masuk dan menjadi angkatan kerja baru di dalam negeri yang membawa akibat pada
penuhnya organisasi dengan keberagaman (diversity).
Pemimpin organisasi harus menyadari bahwa dengan terdapatnya diversitas
yang besar didalam organisasi, secara otomatis juga menciptakan timbulnya
berbagai macam motivasi (intrinsic interest), persepsi, kebiasaan, pendapat
serta pengalaman yang berbeda dari setiap anggotanya dalam memandang pekerjaan
mereka didalam organisasi. Berbagai perbedaan tersebut dapat menimbulkan silang
pendapat, pertengkaran atau bahkan konflik didalam tubuh organisasi. Adanya job
design dan job description secara otomatis telah memposisikan seseorang sebagai
kompetitor bagi sesamanya, sehingga menimbulkan persaingan yang seringkali
berakibat buruk bagi kinerja organisasi secara keseluruhan. Saat ini deskripsi
jabatan mulai ditinggalkan dan beralih pada sistem team description.
Apabila timbul persaingan bahkan permusuhan yang seharusnya tidak perlu
terjadi, manajer harus dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh
anggota organisasinya tersebut serta bagaimana cara mengatasi konflik yang
muncul tanpa merugikan organisasi itu sendiri. Namun ini bukan berarti bahwa
seluruh pendapat dan tuntutan mereka harus selalu dipenuhi oleh manajemen. Artinya,
pihak manajemen harus dapat memilih gaya yang sesuai dalam menangani konflik
yang muncul. Lebih jauh lagi, manajemen harus mampu memfasilitasi berbagai
kegiatan di dalam organisasi agar menghasilkan kinerja yang baik dengan tingkat
konflik intern minimal.
II. Teamwork
Team dapat diartikan sebagai together everyone achieve more. Artinya,
bersama-sama dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang hasilnya menentukan
kinerja organisasi memungkinkan setiap individu anggota memberikan kontribusi
yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena di dalam sebuah tim terdiri dari
banyak orang dengan beragam keahlian/kemampuan & keterampilan kerja, di
mana anggota dengan kemampuan & keterampilan tinggi akan mendorong kinerja
anggota yang memiliki kemampuan & keterampilan lebih rendah sehingga tujuan
bersama lebih cepat tercapai. Di sisi lain, keragaman menjadi peluang munculnya
konflik antar anggota.
II. Mitos Seputar Teamwork
Meskipun teamwork pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja
organisasi secara umum, dalam kenyataannya sering terjadi kegagalan kerja sama
di dalam teamwork. Banyak hal yang menyebabkan gagalnya teamwork salah satunya karena anggota
organisasi masih mempercayai mitos-mitos seputar teamwork yang menajadi
bayangan menakutkan. Mitos-mitos seputar
team work, yang menjadikan buruknya kinerja tim antara lain :
Mitos bahwa tim dengan kinerja tinggi
menuntut adanya perubahan budaya organisasi.
Mitos bahwa tim memerlukan target dan
standar tertentu (padahal target biasanya akan menyebabkan timbulnya frustrasi
pada anggota).
Sangat dipahami bahwa perubahan budaya selalu menjadi hal yang
menakutkan bagi hampir setiap organisasi.
Kebanyakan mereka enggan untuk berubah (resistance to change) yang pada
dasarnya merupakan persoalan budaya, sehingga kadang-kadang diperlukan
perubahan yang bersifat revolusioner. Mereka berpikir bahwa dengan berubahnya
budaya di dalam organisasi akan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi
mereka (utamanya pihak-pihak yang telah menikmati banyak keuntungan dalam
organisasi).
Namun perlu diingat bahwa saat ini budaya dapat diciptakan dengan lebih
baik dan kondusif bagi perkembangan positif organisasi melalui pemberian
training kepada anggota organisasi. Anggota (baru) dibentuk dan disesuaikan
dengan iklim budaya yang sebelumnya telah terbentuk sehingga mereka mampu untuk
beradaptasi (coping) dengan lingkungannya tanpa mengalami banyak kendala.
Persyaratan calon anggota baru organisasi yang didasarkan pada skill,
experience, knowledge, dan abilities (SEKA) tidak lagi utama. Kini syarat
experience telah mulai digantikan dengan
attitude (menjadi SAKA yakni skills, attitude, knowledge, abilities), yang
ternyata mempermudah pembentukan iklim organisasi sehingga setiap anggota organisasi
mampu memberikan kontribusinya (berupa prestasi kerja) secara maksimal kepada
organisasi.
Perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang diberikan anggota hendaknya
disertai dengan pemberian reward yang sesuai serta menarik bagi anggota dan disertai
dengan perbaikan sistem penilaian kinerja (performance appraisal system). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kinerja
seseorang yang excellent merupakan fungsi dari kompetensi individunya yang juga
didukung oleh lingkungan yang kondusif
dan dukungan rekan sekerja.
Manajer perlu memahami bahwa pengukuran kinerja itu penting, namun tidak
dengan target. Dengan tetap berfokus pada kerja, manajer perlu membantu
anggotanya mempelajari pengukuran kinerja yang diinginkan dengan tetap dapat
berkonsentrasi pada “purpose”. Target nantinya akan menjadi goals atas dasar
pengetahuan metode yang baik. Dengan kata lain, staf harus mengetahui apa yang
telah mereka kerjakan sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Diharapkan, anggota secara alamiah & dengan sendirinya akan mengetahui apa
yang mungkin untuk dilakukan apabila terdapat improvement di lingkungan
kerjanya. Inilah yang disebut dengan target de facto, di mana anggota
organisasi memiliki pengetahuan dan kontrol atas terjadinya improvement itu sendiri.
III. Manajemen Konflik
Konflik yang muncul dalam teamwork yang merupakan akibat adanya
perbedaan kepribadian, persepsi, pengalaman, tujuan, motivasi ataupun
kepercayaan tiap anggota organisasi yang saling berinteraksi sosial dalam pekerjaan.
Tak dapat disangkal lagi apabila hingga kini kita makin akrab dengan konflik.
Namun kini kita tak perlu lagi merasa takut dan ngeri mendengarnya. Karena,
ternyata konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk sepanjang
dapat dikelola dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan memancing daya
kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara
kolektif.
Banyak cara atau pun trik yang dapat diterapkan untuk mengatasi dan
bahkan mengurangi sensitivitas anggota terhadap pemicu konflik potensial di
antara mereka. Berbagai macam training, seperti sensitivity training, diversity
training program atau pun cross-cultural training (Noe, Hollenbeck, Gerhart,
Wright, 2000:254), dapat dilakukan untuk menjawab masalah konflik sehingga
sumber daya manusia dalam organisasi dapat memberikan manfaat yang lebih besar.
Di samping itu, organisasi juga perlu melakukan reorientasi fungsi manajemen
sumber daya manusianya dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang senantiasa
terjadi yaitu dengan cara :
Membuat klarifikasi strategi bisnis melalui
analisis, evaluasi dan kemungkinan solusi yang diperlukan.
Realisasi internal manajemen sumber daya
manusia (sebagai penyedia jasa, sebagai struktur fungsional dan sebagai
manajemen organisasi).
Memiliki kompetensi manusia dan organisasi.
Tiga jenis kompetensi yang mutlak
diperlukan oleh organisasi dan sumber daya manusianya tersebut, adalah
Organisasi perlu berubah menjadi organisasi
yang berdasarkan pada kinerja network.
Organisasi memiliki daya kreatif, inovatif
dan proaktif terhadap perubahan.
Organisasi memiliki entrepeneurial,
intrapreneurial and learning spirit yang terbangun dari anggotanya.
Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang
melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan
continous re-empowerment. Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih
dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65) yaitu :
Avoiding; gaya seseorang atau organisasi
yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan
potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak
menimbulkan konflik terbuka.
Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan
mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat
konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan
kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
Compromising; merupakan gaya menyelesaikan
konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik,
sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang
sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
Competing; artinya pihak-pihak yang
berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus
ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya
kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose
solution).
Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak
yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena
mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan,
dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua
pihak tercapai (menghasilkan win-win solution).
Conglomeration (mixtured type); cara ini
menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh
seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung
dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi,
kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau
organisasi.
Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik
merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang
atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan
nilai (value) seseorang tersebut. Pada level subkultur (subculture), shared
values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam
menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat
mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan
budayanya (M. Kamil Kozan, 2002:93-96).
Dalam masyarakat tradisional yang
masih dipenuhi dengan nilai-nilai kesopanan, budaya saling membantu yang masih
sangat kental, sangat ramah tamah, dan sebagainya akan cenderung untuk
menghindari konflik. Berbeda dengan masyarakat yang bersifat power seekers,
mereka cenderung untuk saling bersaing dalam menghadapi konflik yang muncul
dengan berorientasi pada kekuasaan (power), wewenang (authority) dan kemakmuran
secara ekonomis. Sedangkan organisasi atau seseorang yang berada dalam
masyarakat yang bersifat egalitarians lebih menyukai gaya akomodasi dalam
menyelesaikan konfliknya dengan menghargai pada keadilan (justice),
kesederajatan (equality), dan saling memaafkan (forgiveness). Gaya akomodasi
ini lebih mendahulukan kepentingan pihak lain daripada kepentingan diri sendiri
atau kepentingan golongannya sendiri. Gaya menyelasaikan konflik dengan
kolaborasi terdapat pada masyarakat yang bertipe stimulation seekers, dimana
pihak-pihak yang terlibat konflik saling terbuka dan berbagi pengalaman
masing-masing yang pada akhirnya menghasilkan jalan keluar yang saling
menguntungkan.
IV. Penutup
Tantangan bagi organisasi di abad 21 ini
adalah organisasi harus mampu untuk:
Melakukan perubahan yang terus menerus
(sustainable change), di mana setiap orang di dalam organisasi berperan sebagai
pelaku strategik perubahan di dalam organisasi.
Organisasi harus mampu proaktif terhadap
perubahan dan menjadi pelopor perubahan tersebut (proactive and lead to the
change), bukan menunggu perubahan (waiting for the change) melalui orang-orang
yang ada dalam organisasi bukan melalui teknologi. Disini dapat kita katakan
bahwa teknologi memiliki nilai ekonomis yang semakin menurun seiring dengan
berjalannya waktu, sedangkan investasi dalam manusia (human investment) akan
memberikan nilai (kapitalisasi) yang makin meningkat dari waktu ke waktu.
Organisasi harus menekankan pada
performance networking, bukan lagi pada individual performance. Manajemen
sumber daya manusia harus dioperasikan dengan orientasi penanganan masalah
kompetensi organisasi (organizational competency) dan kompetensi anggota
organisasi (people competency).
Daya tahan organisasi di era yang sangat dinamis dan penuh dengan
persaingan ini terletak pada berbagai fungsi organisasi yang memiliki
titik-titik penting untuk tujuan sistem peringatan dini (early warning system)
organisasi sehingga menciptakan keunggulan nilai (value advantage) yang
mencakup scope, speed (diperlukan untuk antisipasi terhadap lingkungan yang
dinamis) dan sinergy yang tinggi.
Potential conflicts yang terdapat di dalam tubuh organisasi bukanlah
merupakan suatu hal yang perlu ditakutkan organisasi yang hidup di era
perubahan. Penanganan dan pengendalian konflik serta pemahaman atas diversity
yang terdapat di dalam organisasi merupakan kunci utama minimnya konflik
terbuka antar sesama anggota organisasi, selain termanfaatkannya konflik
menjadi sumber ide ataupun inovasi yang diperlukan organisasi.
Pemberian training, khususnya
cross-cultural training, ternyata mampu mengurangi sensitivitas anggota
terhadap eksisnya diversity yang berpotensi menimbulkan konflik terbuka antar
anggota.
Apakah dalam keseharian anda terjadi
konflik? atau mungkin disekitar anda terdapat konflik? ataukah kelompok anda
memiliki konflik dengan kelompok lain?
Konflik memang mengejutkan bagi segelintir
orang. Konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan, sehingga kita dituntut
untuk memperhatikan konflik dan mencari jalan meredam ketakutan terhadap
konflik. Dengan demikian, langkah yang baik sekali dalam memanajemen konflik
adalah mengklasifikasikan peristiwa dan mengidentifikasikan apa yang anda
lakukan secara pribadi, siapa yang terlibat dan apakah konflik telah menyebar
atau menjadi konflik yang lebih luas melibatkan banyak orang.
Bila anda telah melakukan identifikasi dan
klasifikasi konflik yang terjadi serta efek yang ditimbulkan, maka anda harus
memiliki langkah ataupun strategi untuk mengatasi konflik tersebut. Jika anda
belum memiliki strategi, di bawah ini akan dibahas 5 pendekatan atau model
penyelesaian konflik berdasarkan pendapat Dr. William Hendricks, yang dapat
anda gunakan sesuai dengan kondisi konflik yang terjadi.
1. Model penyelesaian konflik dengan
mempersatukan (Integrating)
2. Model penyelesaian konflik dengan
kerelaan untuk membantu (obliging)
3. Model penyelesaian konflik dengan
mendominasi (dominating)
4. Model penyelesaian konflik dengan
menghindar (avoiding)
5. Model penyelesaian konflik dengan
kompromis (compromising)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar