Rabu, 04 Oktober 2017

Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja



           Konsep manajemen sumber daya manusia menurut pendekatan strategik mulai menitikberatkan pada kinerja team work dalam jaringan kerja (network) organisasi yang saling bersinergi, sehingga organisasi akan mampu membentuk, mendukung dan mengarahkan aktivitas anggotanya menuju aktivitas yang strategis. Organisasi perlu untuk berkembang dan bertahan hidup dalam abad informasi yang sangat dinamis, dengan berbagai kemungkinan munculnya konflik yang diakibatkan oleh adanya diversity dalam organisasi serta organisasi yang mulai bersifat tanpa batas (boundaryless organization). Diperlukan penanganan atas konflik potensial ataupun konflik terbuka yang ada di antara anggota, sehingga konflik tidak menjadi bersifat disfungsional tetapi justru menguntungkan (sebagai sumber inovasi atau kreativitas) organisasi.  Key words: Teamwork, network, diversity, konflik.

I. Pendahuluan

           Dalam era perekonomian dunia yang kini sudah menjagad, tak pelak lagi menuntut berbagai macam hal yang mampu meningkatkan daya saing organisasi. Tantangan yang muncul karena lingkungan eksternal organisasi yang sangat dinamis dapat bersifat struktural ataupun bersifat non-struktural. Tantangan-tantangan bagi organisasi yang bersifat non struktural misalnya teknologi yang makin canggih, turbulensi politik dan ekonomi, masalah-masalah hak asasi manusia, peluang bisnis global, dan tekonologi informasi dan pengetahuan. Sedangkan tantangan yang bersifat non-struktural meliputi: perlunya keunggulan kompetitif yang terus menerus, organisasi yang apresiatif, networking dalam organisasi, makin pentingnya kualitas, efisiensi dan produktivitas bagi organisasi serta learning organization.
           Persaingan yang makin terbuka kini tidak lagi hanya didasarkan pada tuntutan kualitas (quality-based competition) saja namun kemudian lebih pada kecepatan (speed) organisasi dalam merespon  perubahan (time-based competition) yang makin cepat dari lingkungan eksternalnya. Lingkungan internal juga mengalami perubahan budaya dan iklim, karena terdapatnya kemungkinan dan kesempatan bagi orang-orang asing untuk masuk dan menjadi angkatan kerja baru di dalam negeri yang membawa akibat pada penuhnya organisasi dengan keberagaman (diversity).
           Pemimpin organisasi harus menyadari bahwa dengan terdapatnya diversitas yang besar didalam organisasi, secara otomatis juga menciptakan timbulnya berbagai macam motivasi (intrinsic interest), persepsi, kebiasaan, pendapat serta pengalaman yang berbeda dari setiap anggotanya dalam memandang pekerjaan mereka didalam organisasi. Berbagai perbedaan tersebut dapat menimbulkan silang pendapat, pertengkaran atau bahkan konflik didalam tubuh organisasi. Adanya job design dan job description secara otomatis telah memposisikan seseorang sebagai kompetitor bagi sesamanya, sehingga menimbulkan persaingan yang seringkali berakibat buruk bagi kinerja organisasi secara keseluruhan. Saat ini deskripsi jabatan mulai ditinggalkan dan beralih pada sistem team description.
           Apabila timbul persaingan bahkan permusuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi, manajer harus dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh anggota organisasinya tersebut serta bagaimana cara mengatasi konflik yang muncul tanpa merugikan organisasi itu sendiri. Namun ini bukan berarti bahwa seluruh pendapat dan tuntutan mereka harus selalu dipenuhi oleh manajemen. Artinya, pihak manajemen harus dapat memilih gaya yang sesuai dalam menangani konflik yang muncul. Lebih jauh lagi, manajemen harus mampu memfasilitasi berbagai kegiatan di dalam organisasi agar menghasilkan kinerja yang baik dengan tingkat konflik intern minimal.

II. Teamwork

           Team dapat diartikan sebagai together everyone achieve more. Artinya, bersama-sama dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang hasilnya menentukan kinerja organisasi memungkinkan setiap individu anggota memberikan kontribusi yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena di dalam sebuah tim terdiri dari banyak orang dengan beragam keahlian/kemampuan & keterampilan kerja, di mana anggota dengan kemampuan & keterampilan tinggi akan mendorong kinerja anggota yang memiliki kemampuan & keterampilan lebih rendah sehingga tujuan bersama lebih cepat tercapai. Di sisi lain, keragaman menjadi peluang munculnya konflik antar anggota.

II. Mitos Seputar Teamwork

           Meskipun teamwork pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja organisasi secara umum, dalam kenyataannya sering terjadi kegagalan kerja sama di dalam teamwork. Banyak hal yang menyebabkan gagalnya  teamwork salah satunya karena anggota organisasi masih mempercayai mitos-mitos seputar teamwork yang menajadi bayangan menakutkan. Mitos-mitos seputar  team work, yang menjadikan buruknya kinerja tim antara lain :
Mitos bahwa tim dengan kinerja tinggi menuntut adanya perubahan budaya organisasi.
Mitos bahwa tim memerlukan target dan standar tertentu (padahal target biasanya akan menyebabkan timbulnya frustrasi pada anggota).
           Sangat dipahami bahwa perubahan budaya selalu menjadi hal yang menakutkan bagi hampir setiap organisasi.  Kebanyakan mereka enggan untuk berubah (resistance to change) yang pada dasarnya merupakan persoalan budaya, sehingga kadang-kadang diperlukan perubahan yang bersifat revolusioner. Mereka berpikir bahwa dengan berubahnya budaya di dalam organisasi akan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi mereka (utamanya pihak-pihak yang telah menikmati banyak keuntungan dalam organisasi).
           Namun perlu diingat bahwa saat ini budaya dapat diciptakan dengan lebih baik dan kondusif bagi perkembangan positif organisasi melalui pemberian training kepada anggota organisasi. Anggota (baru) dibentuk dan disesuaikan dengan iklim budaya yang sebelumnya telah terbentuk sehingga mereka mampu untuk beradaptasi (coping) dengan lingkungannya tanpa mengalami banyak kendala. Persyaratan calon anggota baru organisasi yang didasarkan pada skill, experience, knowledge, dan abilities (SEKA) tidak lagi utama. Kini syarat experience telah  mulai digantikan dengan attitude (menjadi SAKA yakni skills, attitude, knowledge, abilities), yang ternyata mempermudah pembentukan iklim organisasi sehingga setiap anggota organisasi mampu memberikan kontribusinya (berupa prestasi kerja) secara maksimal kepada organisasi.
           Perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang diberikan anggota hendaknya disertai dengan pemberian reward yang sesuai serta menarik bagi anggota dan disertai dengan perbaikan sistem penilaian kinerja (performance appraisal system).  Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kinerja seseorang yang excellent merupakan fungsi dari kompetensi individunya yang juga didukung oleh lingkungan yang kondusif  dan dukungan  rekan sekerja.
           Manajer perlu memahami bahwa pengukuran kinerja itu penting, namun tidak dengan target. Dengan tetap berfokus pada kerja, manajer perlu membantu anggotanya mempelajari pengukuran kinerja yang diinginkan dengan tetap dapat berkonsentrasi pada “purpose”. Target nantinya akan menjadi goals atas dasar pengetahuan metode yang baik. Dengan kata lain, staf harus mengetahui apa yang telah mereka kerjakan sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik. Diharapkan, anggota secara alamiah & dengan sendirinya akan mengetahui apa yang mungkin untuk dilakukan apabila terdapat improvement di lingkungan kerjanya. Inilah yang disebut dengan target de facto, di mana anggota organisasi memiliki pengetahuan dan kontrol atas terjadinya improvement itu sendiri.

III. Manajemen Konflik

           Konflik yang muncul dalam teamwork yang merupakan akibat adanya perbedaan kepribadian, persepsi, pengalaman, tujuan, motivasi ataupun kepercayaan tiap anggota organisasi yang saling berinteraksi sosial dalam pekerjaan. Tak dapat disangkal lagi apabila hingga kini kita makin akrab dengan konflik. Namun kini kita tak perlu lagi merasa takut dan ngeri mendengarnya. Karena, ternyata konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk sepanjang dapat dikelola dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan memancing daya kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara kolektif.
           Banyak cara atau pun trik yang dapat diterapkan untuk mengatasi dan bahkan mengurangi sensitivitas anggota terhadap pemicu konflik potensial di antara mereka. Berbagai macam training, seperti sensitivity training, diversity training program atau pun cross-cultural training (Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright, 2000:254), dapat dilakukan untuk menjawab masalah konflik sehingga sumber daya manusia dalam organisasi dapat memberikan manfaat yang lebih besar. Di samping itu, organisasi juga perlu melakukan reorientasi fungsi manajemen sumber daya manusianya dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang senantiasa terjadi yaitu dengan cara :
Membuat klarifikasi strategi bisnis melalui analisis, evaluasi dan kemungkinan solusi yang diperlukan.
Realisasi internal manajemen sumber daya manusia (sebagai penyedia jasa, sebagai struktur fungsional dan sebagai manajemen organisasi).
Memiliki kompetensi manusia dan organisasi.
Tiga jenis kompetensi yang mutlak diperlukan oleh organisasi dan sumber daya manusianya tersebut, adalah
Organisasi perlu berubah menjadi organisasi yang berdasarkan pada kinerja network.
Organisasi memiliki daya kreatif, inovatif dan proaktif terhadap perubahan.
Organisasi memiliki entrepeneurial, intrapreneurial and learning spirit yang terbangun dari anggotanya.
           Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak  spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment. Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65) yaitu :
Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win solution).
Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
           Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi.
           Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut. Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya (M. Kamil Kozan, 2002:93-96).
           Dalam masyarakat  tradisional yang masih dipenuhi dengan nilai-nilai kesopanan, budaya saling membantu yang masih sangat kental, sangat ramah tamah, dan sebagainya akan cenderung untuk menghindari konflik. Berbeda dengan masyarakat yang bersifat power seekers, mereka cenderung untuk saling bersaing dalam menghadapi konflik yang muncul dengan berorientasi pada kekuasaan (power), wewenang (authority) dan kemakmuran secara ekonomis. Sedangkan organisasi atau seseorang yang berada dalam masyarakat yang bersifat egalitarians lebih menyukai gaya akomodasi dalam menyelesaikan konfliknya dengan menghargai pada keadilan (justice), kesederajatan (equality), dan saling memaafkan (forgiveness). Gaya akomodasi ini lebih mendahulukan kepentingan pihak lain daripada kepentingan diri sendiri atau kepentingan golongannya sendiri. Gaya menyelasaikan konflik dengan kolaborasi terdapat pada masyarakat yang bertipe stimulation seekers, dimana pihak-pihak yang terlibat konflik saling terbuka dan berbagi pengalaman masing-masing yang pada akhirnya menghasilkan jalan keluar yang saling menguntungkan.

IV. Penutup

Tantangan bagi organisasi di abad 21 ini adalah organisasi harus mampu untuk:
Melakukan perubahan yang terus menerus (sustainable change), di mana setiap orang di dalam organisasi berperan sebagai pelaku strategik perubahan di dalam organisasi.
Organisasi harus mampu proaktif terhadap perubahan dan menjadi pelopor perubahan tersebut (proactive and lead to the change), bukan menunggu perubahan (waiting for the change) melalui orang-orang yang ada dalam organisasi bukan melalui teknologi. Disini dapat kita katakan bahwa teknologi memiliki nilai ekonomis yang semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan investasi dalam manusia (human investment) akan memberikan nilai (kapitalisasi) yang makin meningkat dari waktu ke waktu.
Organisasi harus menekankan pada performance networking, bukan lagi pada individual performance. Manajemen sumber daya manusia harus dioperasikan dengan orientasi penanganan masalah kompetensi organisasi (organizational competency) dan kompetensi anggota organisasi (people competency).
           Daya tahan organisasi di era yang sangat dinamis dan penuh dengan persaingan ini terletak pada berbagai fungsi organisasi yang memiliki titik-titik penting untuk tujuan sistem peringatan dini (early warning system) organisasi sehingga menciptakan keunggulan nilai (value advantage) yang mencakup scope, speed (diperlukan untuk antisipasi terhadap lingkungan yang dinamis) dan sinergy yang tinggi.
           Potential conflicts yang terdapat di dalam tubuh organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang perlu ditakutkan organisasi yang hidup di era perubahan. Penanganan dan pengendalian konflik serta pemahaman atas diversity yang terdapat di dalam organisasi merupakan kunci utama minimnya konflik terbuka antar sesama anggota organisasi, selain termanfaatkannya konflik menjadi sumber ide ataupun inovasi yang diperlukan organisasi.
           Pemberian training, khususnya cross-cultural training, ternyata mampu mengurangi sensitivitas anggota terhadap eksisnya diversity yang berpotensi menimbulkan konflik terbuka antar anggota.

Apakah dalam keseharian anda terjadi konflik? atau mungkin disekitar anda terdapat konflik? ataukah kelompok anda memiliki konflik dengan kelompok lain?
Konflik memang mengejutkan bagi segelintir orang. Konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan, sehingga kita dituntut untuk memperhatikan konflik dan mencari jalan meredam ketakutan terhadap konflik. Dengan demikian, langkah yang baik sekali dalam memanajemen konflik adalah mengklasifikasikan peristiwa dan mengidentifikasikan apa yang anda lakukan secara pribadi, siapa yang terlibat dan apakah konflik telah menyebar atau menjadi konflik yang lebih luas melibatkan banyak orang.
Bila anda telah melakukan identifikasi dan klasifikasi konflik yang terjadi serta efek yang ditimbulkan, maka anda harus memiliki langkah ataupun strategi untuk mengatasi konflik tersebut. Jika anda belum memiliki strategi, di bawah ini akan dibahas 5 pendekatan atau model penyelesaian konflik berdasarkan pendapat Dr. William Hendricks, yang dapat anda gunakan sesuai dengan kondisi konflik yang terjadi.
1. Model penyelesaian konflik dengan mempersatukan (Integrating)
2. Model penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging)
3. Model penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating)
4. Model penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)
5. Model penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar